PERSPEKTIF

Apakah Social Distancing Efektif di Gorontalo ?

Oleh : Funco Tanipu

Social Distancing/SD (mengambil jarak) adalah anjuran World Health Organization (WHO) untuk meminimalisir dan memutus rantai penyebaran Covid-19 (C19). Istilah ini lalu direvisi menjadi Physical Disyancing (PD).

Imbauan mengenai PD ini mulai berlaku efektif dan massif sejak ditetapkannya dua orang warga Indonesia positif terjangkit C19 per 2 Maret 2020. Sejak saat itu, sebagian besar orang mulai mengambil jarak antara satu dengan yang lain.

Hingga hari ini, untuk lebih memperkuat wacana SD di lapangan, dirumuskanlah satu tema baru yang lebih aplikatif ” #dirumahaja. Tagar #dirumahaja diharapkan bisa menjadi perilaku harian warga, khususnya kaum milenial.

Untuk lebih memperkuat narasi #dirumahaja, ditambahkanlah puji-pujian bagi kaum milenial yang selama beberapa waktu terakhir mengidentikkan diri sebagai “kaum rebahan”. Dalam banyak poster disebut bahwa sekarang adalah masa kaum rebahan bisa menjadi pahlawan dengan hobby (perilakunya) rebahan.

Namun, narasi social distancing hingga #dirumahaja, pada beberapa daerah yang semangat guyubnya tinggi seperti Gorontalo, akan mengalami hambatan yang cukup pelik.

Sebab, social distancing berlawanan dengan perilaku keseharian masyarakat Gorontalo seperti Ambuwa (Aambuwa-Berkumpul), Dudula (Dududula-Saling Mendekat), Depita (Dedepita-Saling Antar Makanan/Barang), Awota (Perjumpaan), Dulohupa (Musyawarah), dan banyak jenis perilaku yang menjadi keseharian masyarakat Gorontalo.

Basis dari perilaku itu adalah Ngala’a-Ngagala’a-Motolongala’A (kekerabatan). Perilaku diatas bukan saja sebagai aktifitas atau kegiatan praksis namun juga sebagai rantai nilai dalam semangat kekerabatan Gorontalo.

Sumber dari nilai-nilai ini tak lain adalah Al-Qur’an dan Sunnah (AQS) yang kemudian menjadi jargon Gorontalo : Aadati Hulo-hulo’a to Syara’a, Syara’a topa-topango to Quruani.

Kembali ke anjuran social distancing, yang dalam perspektif Gorontalo disebut dengan wawalahe (berjarak, mengambil jarak). Namun, wawalahe ini baru bisa berlaku jika relasi antar warga sudah pada taraf yang emosional, atau sebelumnya sudah mengalami pertikaian. Wawalahe juga berlaku saat ada wabah, tetapi pengidap penyakit bisa dilihat atau sudah ditentukan terlebih dahulu identitasnya dalam masyarakat umum. Berbeda dengan C19 yang masih bersifat dugaan, kemungkinan, probalilitas menular. Sedangkan yang positif tidak diumumkan atau sudah diumunkan namun telah diisolasi.

Makanya, berbagai imbauan hingga fatwa untuk “wawalahe” terkesan sulit untuk dipaksakan. Hal ini tak bisa dipungkiri dalam masyarakat komunal seperti Gorontalo yang homogen. Apalagi kekerabatan (Ngala’a) tersebut ditopang oleh semangat “marga” yang masih sangat kuat.

Memang harus diakui, dalam beberapa riset terbaru mengenai fungsi social distancing yang bisa mereduksi penyebaran virus hingga 40 %, tetapi hasil riset ini tidak berlaku di Italia hingga negara tersebut kini berada diatas Cina terkait jumlah yang positif C-19. Sebab, warga Italia memiliki kebiasaan berkumpul, makan bersama, hingga santai di cafe, makanya kondisi ini membuat Italia tak mampu mengendalikan penyebaran C-19.

Hingga tadi malam (27/3), jalanan di Gorontalo masih ramai, begitu juga beberapa lokasi yang potensi berkumpulnya warga. Kenyataan ini ditambah lagi dengan perilaku sakit masyarakat Gorontalo yang masih menggunakan paradigma “polipitolo” (kurang enak badan/agak demam). Konteks “polipitolo” ini bagi warga Gorontalo cukup dengan obat-obat yang bisa dibeli di kios atau toko obat. Ditambah lagi dengan perspektif “yilanggu” (diganggu setan) yang bisa diobati dengan “mohile taluhu” (minta air ke beberapa pemuka agama/adat atau dukun).

Bagi masyarakat Gorontalo, sakit parah itu didefinisikan dengan “mahe potameya liyo” (level parah, aktifitas harus dibantu orang lain), itupun lebih banyak dibawa ke dokter praktek, puskesmas atau mantri kesehatan. Jika setelah itu bisa “mohupa patu” (demam turun) atau “mamo piyohu pongonga” (makan sudah lancar) maka sudah dianggap “malo hela mola” (badan sudah agak ringan/agak enakan).

Pemahaman sosiologis mengenai sakit bagi orang Gorontalo memang berlapis-lapis. Utamanya bagi warga kampung atau yang berada di level ekonomi rendah. Bagi mereka sakit itu “wanu mowali tamela to bele” maka tak perlu harus opname.

Karena itu, “kepanikan” mengenai C-19 tidak merembet hingga kelas sosial-ekonomi yang saya sebutkan diatas. Kepanikan hanya berada di level kelas menengah yang sering mengkonsumsi informasi dan tahu mengenai C-19. Di sisi lain, kondisi ekonomi dan keterbatasan informasi yang komprehensif mengenai protokol penanganan C-19 juga ikut mempengaruhi keputusan warga dalam menghadapi pandemi ini.

Tentu dalam realitas ini, perlu upaya dari lembaga terkait untuk bisa merumuskan pola komunikasi dan sosialisasi bagi warga Gorontalo berdasarkan kelas-kelas dalam masyarakat. Informasi dan transparansi mengenai C-19 sangat penting bukan saja untuk memutus rantai penyebaran, namun juga memutus “paradigma sakit” warga Gorontalo yang masih konvensional.

Bagi Yuval Noah Harari, kunci pemutusan rantai penyebaran ada pada informasi. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ibn Sina beberapa abad yang lalu ; “kepanikan adalah separuh penyakit. Ketenangan adalah separuh obat. Kesabaran adalah permulaan kesembuhan”. Dalam konteks C-19, kepanikan dan ketenangan berasal dari asupan informasi yang diterima oleh warga.

Sebagai penutup, kita semua tentu berharap dan berdoa agar daerah kita akan terus terjaga dan dilindungi dari bala’. (*)

Tags

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button
Close

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker